Gua Maria Simbok: Perjalanan Batin Menuju “Porta Sancta” yang Sesungguhnya
Perjalanan menuju Gua Maria Simbok (GMS) di Banyuwangi bukanlah sekadar agenda wisata biasa. Bagi penulis, tempat ini menjelma sebagai “the real Porta Sancta”, sebuah pintu suci yang sesungguhnya, tersembunyi di taman doa belakang kediaman Ibunda Romo Henrikus Suwaji, O. Carm. Pengalaman ini penuh dengan perjuangan, drama, dan ujian iman yang tak terduga.
Secara pribadi, penulis bukanlah seorang peziarah yang gemar melakukan perjalanan rohani. Alasan di baliknya telah diulas dalam tulisan sebelumnya, menekankan bahwa ziarah yang sejati adalah sebuah perjalanan batin dalam menemukan Tuhan melalui doa dan peristiwa hidup. Prinsip inilah yang dipegang teguh.
Rencana untuk mengunjungi Banyuwangi pun tidak pernah terlintas dalam daftar perjalanan. Hingga beberapa tahun terakhir, ketertarikan muncul sebatas mendengar cerita teman dan melihat unggahan di berbagai media sosial. Namun, segalanya berubah ketika Gereja Katolik mengumumkan pembukaan Pintu Suci (Porta Sancta) dalam Tahun Yubileum Agung 2025. Banyuwangi, yang termasuk dalam wilayah Keuskupan Malang, menjadi salah satu dari empat lokasi yang dibuka, tepatnya di Gua Maria Curahjati.
Meskipun demikian, fokus penulis sempat terbagi ke arah Jakarta atau Bandung, kota-kota yang memiliki ikatan emosional dari masa lalu. Rencana untuk berziarah, bernostalgia, dan sekadar berjalan-jalan di sana sempat disusun. Namun, Tuhan rupanya memiliki rencana yang jauh lebih indah dan tak terduga.
Menjelang pertengahan November 2025, sebuah pesan WhatsApp datang dari pengurus lingkungan St. Athanasius, Paroki Blimbing, Malang. Sebuah ziarah “Porta Sancta dan Rekreasi ke Banyuwangi ‘Peziarah Pengharapan'” dijadwalkan pada Jumat, 28 November hingga Minggu, 30 November 2025. Dengan kuota terbatas dan biaya yang sangat terjangkau berkat sponsor dan donatur, penulis dan Ibunda segera mendaftar. Ini dianggap sebagai respons positif terhadap berkat dan kemurahan Tuhan. Bahkan jika rencana ini batal, niatnya adalah untuk turut menyumbang bagi lingkungan.
Perjuangan Menuju Gua Maria Simbok
Kembali ke topik utama, Gua Maria Simbok (GMS) dijadwalkan masuk dalam rangkaian acara pada hari ketiga ziarah, yaitu Minggu. Kabar ini sempat membuat penulis terharu dan bahagia, mengingat GMS sempat tidak masuk dalam rencana awal. Awalnya, panitia berencana mengunjungi Gereja Paroki Genteng saja, namun akhirnya GMS kembali dimasukkan.
Pada Minggu pagi, 30 November 2025, rombongan bertolak dari arah Genteng menuju lokasi GMS. Namun, informasi mengenai adanya kegiatan rombongan lain dan akses jalan yang sulit, mengharuskan peziarah berjalan kaki sekitar 2 kilometer, akhirnya memicu keputusan untuk tidak jadi mengunjungi GMS dan langsung menuju Antaboga. Keputusan ini menimbulkan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam, hanya bisa dipendam dalam hati dan doa. Apakah hanya sampai di sini perjuangan ini, Tuhan? Padahal sudah jauh-jauh datang ke Banyuwangi…
Setibanya di Antaboga, kendala akses bus tetap berlanjut, mengharuskan peziarah berjalan kaki 1 kilometer atau naik ojek. Penulis dan Ibunda memilih naik ojek masing-masing. Di persimpangan jalan, muncul dorongan hati yang kuat untuk tetap menuju GMS, mengingat informasi yang didapat bahwa GMS masih berada dalam satu wilayah. Konfirmasi dari pengojek memperkuat keyakinan ini, hanya berbeda belokan saja. Penulis merasa tidak sreg untuk melanjutkan ke Antaboga.
Akhirnya, penulis meminta izin kepada panitia dengan alasan memiliki “janji hati” di GMS. Syukurlah, izin diberikan dengan syarat yang disepakati, mengingat penulis akan keluar dari rombongan.
Pengalaman Iman yang Mendalam
Penulis diantar ojek melewati hutan jati. Ada rasa takut yang menyelimuti, mengingat ini adalah pengalaman pertama kalinya nekat bepergian sendirian. Namun, keyakinan bahwa ini adalah jalan Tuhan semakin menguat.
Setibanya di lokasi, suasana masih sepi. Sebelum berdoa, penulis mencari Ibunda Romo Waji dan beruntung dapat bertemu dengannya. Ibu Sumina, demikian nama yang ditanyakan, diajak mengobrol dan bercerita dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Di usianya yang menginjak 90 tahun, Ibu Sumina tampak sehat, kuat, dan hebat. Kebahagiaan dan sukacita terpancar, menjadi berkat tersendiri di Minggu Adven Pertama ini.
Setelah berdoa sebentar di Gua Maria, tiba-tiba datang keramaian dari tiga bus rombongan dari Surabaya. Mereka sibuk menata kursi di depan gua untuk ibadah. Penulis menyadari, inilah rupanya yang terjadi. Kemudian, obrolan dengan Ibu Sumina dilanjutkan. Beliau memiliki selera humor yang baik, bahkan memberikan istilah kata baru. Momen foto bersama pun tak terlewatkan.
Saat berpamitan, terasa ada berat hati dari Ibu Sumina, begitu pula penulis yang ingin berlama-lama. “Ibu sehat-sehat ya, nanti kita ketemu lagi…”, ucap penulis sambil menyalami, memeluk, dan mencium pipi Ibu Sumina. Perasaan campur aduk yang mendalam ini masih terasa hingga kini, meninggalkan kesan yang tak terlupakan.
Penulis meyakini, berkat doa Romo Waji, yang kemudian dikabari mengenai pengalaman ini, juga turut berperan. Romo Waji menanggapi, “Syukurlah bila telah mengalami pengalaman iman, sebab itulah tujuan dari berziarah.” Penulis pun menyadari, pengalaman iman tersebut telah ia dapatkan. Puji Tuhan atas segala berkat dan penyertaan di Gua Maria Simbok. Doa dan cinta penulis untuk Ibu (Simbok) agar selalu sehat, hingga pertemuan kembali. Amin.
Catatan ini ditulis saat penulis sudah kembali di Malang, pada tanggal 9-12 Desember 2025. Proses penulisan dilakukan di tengah kesibukan, sisa-sisa kelelahan, dan rasa kantuk setelah pulang dari ziarah yang masih terasa, namun dengan hati yang sehat, bahagia, dan terberkati.

















