Generasi Muda Gorontalo Akui Jarang Gunakan Bahasa Daerah di Ruang Publik
Di era digital yang serba cepat, bahasa daerah Gorontalo tampaknya mulai terpinggirkan di kalangan generasi mudanya. Banyak kosakata yang dulunya akrab kini jarang terdengar, digantikan oleh dominasi Bahasa Indonesia dan bahasa gaul yang marak di media sosial. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan kelestarian identitas budaya Gorontalo.
Pergeseran Bahasa di Kalangan Anak Muda
Banyak anak muda Gorontalo yang mengakui bahwa mereka jarang menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, terutama saat berada di ruang publik. “Sekarang kalau kami anak muda bicara, kebanyakan pakai bahasa Indonesia atau campur-campur,” ungkap Anti Hulathali, seorang warga Bone Bolango, saat ditemui di kawasan Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Anti menambahkan bahwa ia hanya menggunakan bahasa Gorontalo ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, seperti orang tua atau kakek-nenek. Namun, saat berinteraksi dengan teman sebaya, kecenderungan untuk beralih ke Bahasa Indonesia atau bahasa gaul sangatlah tinggi. Ia bahkan merasa ada sedikit rasa “gengsi” atau malu ketika harus menggunakan bahasa daerahnya di depan teman-temannya. “Ada sedikit gengsi, apalagi teman saya kadang mengejek. Tidak tahu apakah ini pengaruh zaman,” ujarnya lirih.
Pengaruh sosial ini bahkan sampai pada tingkat teguran dalam keluarga. Anti mengaku pernah menegur adiknya yang masih fasih berbahasa Gorontalo ketika berbicara di tempat umum. “Adik saya itu lancar bahasa Gorontalo. Kadang di mall dia sering berbahasa Gorontalo, dan karena banyak orang melihat, saya langsung menegurnya,” beber Anti, menunjukkan betapa kuatnya norma sosial yang berlaku di kalangan anak muda saat ini.
Tantangan dalam Pengucapan dan Pemahaman
Selain faktor sosial, kesulitan dalam pengucapan juga menjadi hambatan bagi sebagian anak muda. Rasya Ramadan, seorang mahasiswa, mengungkapkan bahwa meskipun ia memahami arti dari banyak kosakata bahasa Gorontalo, mengucapkannya terkadang terasa sulit. “Kadang artinya saya tahu, tapi kalau mengucapkan cukup sulit,” tegasnya.
Faktor lain yang berkontribusi pada minimnya penggunaan bahasa daerah adalah kurangnya penekanan dari keluarga. Rasya menyebutkan bahwa orang tuanya tidak pernah melarang penggunaan Bahasa Indonesia atau bahasa gaul di rumah. Hal ini, menurutnya, membuat ia semakin jarang berlatih dan akhirnya tidak lagi fasih berbahasa Gorontalo. “Tidak ada larangan dari keluarga, jadi sekarang saya sudah tidak fasih lagi,” katanya.
Beberapa kosakata bahasa Gorontalo yang dulunya umum digunakan kini semakin jarang terdengar. Contohnya:
- Oduolo: yang berarti “terima kasih”.
- Mohile turungi: ungkapan untuk “minta tolong” atau “tolong saya”.
- Hulondalo: sebutan untuk “orang Gorontalo”.
- Batanga: merujuk pada “tubuh” atau “badan”.
Kosakata-kosa kata ini kini lebih sering digantikan oleh padanan kata dalam Bahasa Indonesia, seperti “terima kasih”, “tolong”, “orang Gorontalo”, dan “badan”.
Pengaruh Media Sosial dan Upaya Pelestarian
Sion Guu, seorang warga Gorontalo lainnya, menyoroti peran media sosial dan konten digital sebagai salah satu faktor utama yang mempercepat pergeseran bahasa daerah. “Rata-rata konten kreator menggunakan bahasa gaul, padahal mereka orang Gorontalo,” jelasnya, menggarisbawahi bagaimana platform digital seringkali lebih memprioritaskan tren bahasa gaul ketimbang pelestarian bahasa lokal.
Namun, di tengah tantangan tersebut, tidak semua upaya pelestarian bahasa daerah terhenti. Sejumlah sekolah dan komunitas budaya di Gorontalo actively berupaya untuk menghidupkan kembali minat generasi muda terhadap bahasa daerah. Berbagai kegiatan dilakukan, mulai dari ekstrakurikuler bahasa daerah, diskusi budaya yang mendalam, hingga pembuatan konten edukasi yang menarik di media sosial.
Inisiatif yang lebih konkret datang dari pemerintah daerah. Kabupaten Bone Bolango, misalnya, telah mengambil langkah maju dengan memasukkan mata pelajaran bahasa Gorontalo ke dalam kurikulum sekolah. Hal ini diharapkan dapat memberikan fondasi pengetahuan bahasa daerah sejak dini kepada para siswa.
Kosakata Sehari-hari yang Mulai Terlupakan
Untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai kekayaan bahasa Gorontalo yang kini jarang digunakan, berikut adalah beberapa contoh kosakata yang dulunya umum dalam percakapan sehari-hari:
Pronomina & Ungkapan
- Yi’o / Tiyo: Kamu
- Wa’u / Watiya: Saya
- Timongoliyo: Mereka
- Tita: Siapa
- Toutonu: Di mana
- Mona’o toutonu: Pergi ke mana
- Diya mota: Pergi ke sana (ungkapan basa-basi saat bertemu di jalan)
- Jamongola: Tidak apa-apa
- Lona’o de’u tonu: Ada pergi ke mana
- Diya’a tiyo: Tidak ada dia
Tempat
- Patali: Pasar
- Bele: Rumah
- Tihi: Masjid
- Pangimba: Kebun/sawah
- Sikolah: Sekolah
Selain istilah-istilah di atas, masih terdapat banyak lagi kosakata bahasa Gorontalo yang sangat jarang digunakan oleh anak muda dalam percakapan sehari-hari. Tingkat kepunahan bahasa daerah ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti sejauh mana bahasa Gorontalo tersisih di era modern ini dan bagaimana strategi pelestarian yang paling efektif dapat diimplementasikan. Upaya kolektif dari masyarakat, pemerintah, dan institusi pendidikan sangat dibutuhkan untuk memastikan warisan linguistik ini tetap hidup dan lestari.

















