Bos Happy Cafe bernama Eni Anggraini dan bawahannya, Neni Rahayu dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) Arfian dengan pidana penjara selama 3 tahun, denda 100 juta Rupiah subsider 6 bulan kurungan.
Pembacaan tuntutan itu dilaksanakan dalam persidangan yang dipimpin oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam, Ferry Irawan, Benny Yoga Dharma dan Monalisa Anita Theresia Siagian pada hari Kamis (17 April 2025).
Arfian mengatakan bahwa Eni Anggraini dan dibantu terdakwa Neni Rahayu telah menyuruh seorang anak perempuan bernama Rini (nama samaran) berusia 13 tahun menjadi seorang LC di Happy Cafe yang berlokasi di Mitra Mall Batuaji, Kota Batam.
LC singkatan yang diambil dari Bahasa Inggris yaitu Lady Companion yang artinya seorang teman wanita atau pendamping wanita, sering digunakan dalam konteks karaoke. Kerap kali diksi LC digunakan untuk menyebut wanita yang menemani pelanggan selama sesi karaoke.
“Menyatakan terdakwa Eni Anggraini dan Neni Rahayu telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak,” kata Arfian.
Arfian menegaskan bahwa perbuatan Eni Anggraini dan Neni Rahayu telah melanggar Pasal 88 Juncto Pasal 76l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun, dikurangi masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh para terdakwa dan denda sebesar 100 juta Rupiah, subsider 6 bulan kurungan dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan dengan perintah para terdakwa tetap ditahan,” ucap Arfian.
Dalam persidangan itu juga ternyata Arfian ikut menuntut ibu kandung dari korban Rini yang namanya Fithri Hayani Harahap dengan pidana penjara selama 3 tahun, denda 100 juta Rupiah subsider 6 bulan kurungan.
Sementara berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh (sebut saja)Rini kepada Media BatamPena.com ternyata Ibunya tidak pernah menyuruh dirinya bekerja. “Mamak tidak pernah menyuruh saya bekerja selama ini. Sebenarnya saya disuruh sekolah sama Mamak namun tidak ada keinginan untuk sekolah. Saya niat sendiri untuk bekerja bukan paksaan atau dorongan dari Mamak,” ujar Rini saat ditemui di PN Batam, Rabu (05 Maret 2025) silam.
Rini juga sempat cekcok dengan Mamaknya karena dirinya selalu dilarang untuk bekerja.
“Mamak selalu marah kalau saya punya niat untuk bekerja. Tidak jarang Mamak marah dengan nada keras untuk melarang saya bekerja. Namun saya tidak hiraukan larangan dari Mamak karena melihat himpitan ekonomi keluarga maka harus bekerja,” kata Rini saat didampingi oleh Hendrianto Sianipar dan Muhammad Khoiruddin selaku penasehat hukum dari terdakwa Fithri Hayani Harahap.

(Sumber foto: Dokumentasi pribadi redaksi BatamPena.com)
Rini juga menceritakan saat bekerja di Happy Cafe dirinya disuruh untuk mendampingi laki-laki dewasa yang duduk sembari berkaraoke serta meminum minuman beralkohol.
“Saya bekerja sebagai LC di Happy Cafe maka harus mendampingi tamu yang datang untuk menikmati minuman beralkohol. Kadang ada tamu yang baik mau kasih uang tips kepadaku. Dan uang itu saya belikan beras dan kebutuhan di rumah. Memang saat belanja saya ditemani Mamak, kenapa pula Mamakku bisa jadi dipenjara? Mamak kan tidak salah,” ucap Rini sembari bercucuran air mata.
Dalam kesempatan itu juga Hendrianto Sianipar berpendapat bahwa sebenarnya Fithri Hayani Harahap itu adalah ibu dari korban. “Kenapa pula sudah anaknya yang korban tindak pidana bisa-bisa Mamaknya juga dijebloskan ke dalam penjara? Saya menduga klien kami sengaja dikriminalisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab,” ujar Hendrianto Sianipar.
Hendrianto Sianipar berharap supaya majelis hakim PN Batam yang menangani perkara a quo untuk berpikir cerdas dan berkeadilan dalam menjatuhkan vonis terhadap kliennya.
“Saya berharap dengan penuh keyakinan bahwa klien kami tidak bersalah. Dia hanya tidak sadar uang belanja yang diberikan anaknya merupakan uang tidak halal berdasarkan aturan hukum. Namun perlu diketahui karena kemiskinan klien kami itu maka anaknya harus bekerja di tempat hiburan malam. Sebenarnya masalah kemiskinan ini bentuk kegagalan negara bukan keinginan klien kami. Jadi korban bekerja dengan niatan sendiri untuk membantu perekonomian keluarganya bukan dorongan Mamaknya. Jadi mohon kepada majelis hakim PN Batam untuk membebaskan klien kami demi rasa keadilan bagi kaum marjinal,” kata Hendrianto Sianipar.
Dalam kesempatan itu, Muhammad khoiruddin juga menerangkan bahwa selama anak korban bekerja di Happy Cafe ternyata tidak pernah menerima gaji sepeserpun. Sementara korban sudah bekerja sekitar 1 pekan.
“Terdakwa Eni Anggraini alias Mami Noya selaku pemilik Happy Cafe tidak pernah membayar gaji Rini. Sementara sekitar 1 mingguan korban bekerja tetapi tidak digaji sama pihak manajemen Happy Cafe. Ini seperti zaman penjajahan Belanda saja yang kerja tidak dibayarkan gajinya,” ucap Muhammad Khoiruddin.
Penulis: JP

















