Gerakan Kebangkitan Baru Nahdlatul Ulama (NU) telah menyampaikan desakan yang kuat kepada Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf untuk mengundurkan diri dari posisi mereka. Desakan ini muncul sebagai respons terhadap adanya konflik internal yang dinilai semakin mengkhawatirkan di dalam tubuh PBNU. Para penggagas gerakan ini percaya bahwa langkah pengunduran diri dan penyerahan tampuk kepemimpinan kepada Ahlul Halli Wal Aqdi merupakan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah dihadapi organisasi.
Panggilan untuk Kepemimpinan Transformatif
Inisiator Gerakan Kebangkitan Baru NU, Herry Haryanto Azumi, dalam sebuah konferensi pers yang digelar di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada hari Jumat, 19 Desember 2025, menyatakan pandangannya. Ia secara tegas menyampaikan bahwa penyerahan mandat kepemimpinan kepada Ahlul Halli Wal Aqdi adalah solusi paling tepat untuk mengakhiri perbedaan pendapat dan menjaga keutuhan organisasi yang telah berdiri lama ini.
“Kami meminta secara hormat kepada yang mulia Rais Aam PBNU dan Ketua Umum untuk menyerahkan mandat organisasi kepada Ahlul Halli Wal Aqdi, karena ini adalah cara terbaik untuk keluar dari konflik dan perbedaan,” ujar Herry Haryanto Azumi.
Herry Haryanto Azumi juga menekankan betapa berbahayanya konflik yang terus berlarut-larut bagi masa depan NU serta bagi umat secara keseluruhan. Ia berpendapat bahwa perpecahan di internal NU tidak boleh dibiarkan berlanjut, karena dampaknya akan meluas, tidak hanya terbatas pada organisasi itu sendiri, tetapi juga berpotensi mengancam stabilitas bangsa dan negara.
“Kalau kita tidak bisa keluar dari perbedaan ini dengan baik, maka kita sedang membahayakan masa depan organisasi, kita membahayakan ummat, kita membahayakan bangsa dan negara,” tegas Ketua PP ISNU tersebut.
Menjaga Keutuhan Organisasi Melalui Solusi Kolektif
Menyikapi situasi yang krusial ini, Herry Haryanto Azumi menyerukan kepada seluruh jajaran pengurus NU, mulai dari tingkat wilayah hingga cabang, untuk bersatu padu dan mengikuti arahan dari Ahlul Halli Wal Aqdi. Langkah ini dipandang sebagai upaya kolektif untuk menemukan solusi terbaik bagi permasalahan yang ada. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga soliditas organisasi agar tidak terjerumus lebih dalam ke dalam pusaran konflik kepengurusan yang dapat merusak citra dan efektivitas NU.
“Kami menyerukan segenap jajaran pengurus NU, dari wilayah sampai cabang, untuk bersama-sama mencari solusi terbaik yaitu dengan ikut arahan dari Ahlul Halli Wal Aqdi,” tuturnya.
Lebih lanjut, Herry Haryanto Azumi memberikan penekanan serius agar tidak ada satu pun pihak yang mencoba membuka celah atau memberikan ruang bagi munculnya dualisme kepengurusan di dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Menurutnya, tindakan mendukung dualisme kepengurusan sama saja dengan secara terang-terangan mendukung perpecahan organisasi. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar NU yang mengedepankan persatuan dan kesatuan.
“Jangan ada dualisme kepengurusan, jangan biarkan kesempatan terjadi dualisme, jangan dukung dualisme, karena sejatinya kita sama saja mendukung perpecahan organisasi,” pungkasnya, menekankan pentingnya menjaga marwah dan keutuhan organisasi.
Gerakan ini mencerminkan keprihatinan mendalam dari sebagian anggota NU terhadap kondisi internal organisasi. Desakan pengunduran diri dan penyerahan kepemimpinan kepada Ahlul Halli Wal Aqdi dipandang sebagai langkah strategis untuk memulihkan kepercayaan, mengakhiri perselisihan, dan mengembalikan NU pada khittah perjuangannya yang lebih kokoh dan terpadu. Harapannya adalah agar seluruh elemen NU dapat bersinergi dan kembali fokus pada tugas-tugas dakwah, sosial, dan kemanusiaan yang menjadi amanah organisasi.
Peran Ahlul Halli Wal Aqdi dalam Penyelesaian Konflik
Ahlul Halli Wal Aqdi, yang secara harfiah berarti “pemegang urusan dan pemecah ikatan”, dalam konteks NU merujuk pada sebuah forum musyawarah yang memiliki kewenangan untuk menentukan kepemimpinan tertinggi organisasi. Forum ini biasanya terdiri dari para ulama sepuh dan tokoh-tokoh NU yang memiliki kapasitas, wawasan, dan integritas tinggi.
Dalam tradisi NU, pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU seringkali melibatkan atau setidaknya merujuk pada pandangan dari Ahlul Halli Wal Aqdi. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan bahwa kepemimpinan NU selalu berada di tangan orang-orang yang paling layak dan dapat dipercaya oleh seluruh lapisan warga NU.
Ketika konflik internal melanda, seperti yang diklaim oleh Gerakan Kebangkitan Baru NU, peran Ahlul Halli Wal Aqdi menjadi sangat krusial. Forum ini diharapkan dapat bertindak sebagai penengah yang independen dan berwibawa, mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak yang berselisih, dan kemudian memberikan solusi yang adil serta dapat diterima oleh semua.
Dengan menyerahkan mandat kepada Ahlul Halli Wal Aqdi, Gerakan Kebangkitan Baru NU berharap agar para pemimpin saat ini dapat menunjukkan sikap kenegarawanan dan kebesaran hati demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Ini adalah momen yang menuntut pengorbanan demi persatuan dan kelangsungan NU sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

















