
Polemik Internal PBNU Memanas: Rapat Pleno Syuriyah dan Penolakan Ketua Umum Picu Konflik Kepemimpinan
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali diguncang oleh gejolak internal yang serius, kali ini menyangkut isu kepemimpinan dan keabsahan sebuah rapat pleno. Ketegangan ini bukan sekadar perbedaan interpretasi administratif, melainkan sebuah konflik yang berpotensi menggerogoti pondasi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Pemicu utama dari polemik ini adalah hasil Rapat Pleno Syuriyah PBNU yang diselenggarakan di Hotel Sultan, Jakarta, yang secara tegas ditolak oleh Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, atau yang akrab disapa Gus Yahya.
Penolakan ini tidak hanya bersifat individual, melainkan telah menyeret PBNU ke dalam pusaran konflik internal yang semakin kompleks. Situasi ini memunculkan dua kubu yang memiliki tafsir berbeda mengenai keabsahan rapat tersebut dan legitimasi kepemimpinan yang dihasilkan. Di tengah memanasnya perselisihan, muncul desakan agar Gus Yahya membawa sengketa ini ke Majelis Tahkim, sebuah lembaga resmi di PBNU yang memang bertugas untuk menyelesaikan perselisihan internal organisasi.
Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam Organisasi
Wakil Ketua Umum PBNU yang terpilih dalam pleno di Jakarta, Mohammad Mukri, berpendapat bahwa perbedaan pandangan semacam ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme organisasi yang telah ada, bukan melalui pernyataan publik yang justru berpotensi memperlebar jurang konflik. Ia menekankan bahwa PBNU memiliki jalur konstitusional yang jelas untuk menampung segala bentuk keberatan atau perbedaan pendapat.
“Kalau ada pertanyaan atau yang berbeda pendapat terkait pleno kemarin diselenggarakan, dipersilakan untuk mengajukan keberatan itu ke Majelis Tahkim,” ujar Mukri.
Menurutnya, Majelis Tahkim memang secara spesifik dirancang untuk berfungsi sebagai mediator ketika terjadi kebuntuan atau penolakan terhadap keputusan yang telah diambil oleh organisasi.
“Di PBNU itu ada Majelis Tahkim. Ketika ada yang tidak puas atau tidak diterima, dipersilakan untuk dibawa ke Majelis Tahkim, ada lembaganya,” tambahnya.
Akar Permasalahan: Penolakan Hasil Pleno dan Tudingan Pelanggaran AD/ART
Saran untuk membawa sengketa ke Majelis Tahkim ini muncul setelah Gus Yahya secara resmi menolak hasil rapat pleno yang telah menetapkan Zulfa Mustofa sebagai Pejabat (Pj) Ketua Umum PBNU, yang seharusnya menggantikan dirinya. Gus Yahya menyatakan bahwa rapat pleno tersebut dinilai tidak sah dan bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU. Penolakan keras dari Ketua Umum inilah yang menjadi titik api dan memicu eskalasi konflik di dalam tubuh PBNU.
Kubu Seberang: Klaim Keabsahan Rapat Berdasarkan Peraturan Terbaru
Di sisi lain, Ketua PBNU yang juga merupakan hasil dari pleno di Jakarta, Imron Rosyadi, justru berada di kubu yang berseberangan. Ia meyakini bahwa rapat pleno yang dilaksanakan di Hotel Sultan tersebut telah berjalan sesuai dengan ketentuan organisasi yang berlaku. Gus Imron secara tegas merujuk pada Peraturan Perkumpulan (Perkum) PBNU terbaru yang dikeluarkan pada tahun 2025 sebagai landasan argumennya.
“Kalau berdasarkan Perkum yang terbaru tahun 2025, memang rapat pleno itu hanya dipimpin oleh Rais Aam dan Katib,” jelasnya. Ia menambahkan, prosedur yang telah dijalankan dalam rapat tersebut sudah memenuhi seluruh syarat formil organisasi.
“Jadi apa yang terjadi kemarin di Hotel Sultan itu sudah memenuhi syarat secara peraturan,” tegas Gus Imron.
Gus Imron juga memberikan penjelasan mengenai mekanisme penandatanganan dokumen hasil pleno. Menurutnya, berdasarkan aturan yang berlaku, dokumen tersebut memang hanya ditandatangani oleh jajaran Syuriyah, yaitu Rais Aam dan Katib, sehingga tidak memerlukan legitimasi atau persetujuan dari unsur kepengurusan lainnya.
Menanti Keputusan Majelis Tahkim
Dengan adanya dua klaim yang sama-sama mengacu pada aturan organisasi, polemik internal PBNU kini memasuki fase yang sangat krusial dan menentukan. Di satu sisi, Gus Yahya menilai bahwa keputusan pleno tersebut cacat hukum dan secara terang-terangan melanggar AD/ART. Di sisi lain, kubu yang merupakan hasil dari pleno Jakarta bersikeras bahwa seluruh prosedur telah dijalankan sesuai dengan Perkum terbaru.
Pertarungan tafsir mengenai aturan dan prosedur inilah yang membuat konflik internal PBNU kian rumit dan mendalam. Majelis Tahkim kini dipandang sebagai satu-satunya jalur tengah yang dapat memutus simpul sengketa ini, sekaligus menjaga marwah dan kondusivitas organisasi. Namun, pertanyaan besar yang masih menggantung adalah apakah jalur penyelesaian ini akan ditempuh oleh semua pihak, atau justru konflik ini akan berlanjut ke babak yang lebih panas dan berpotensi menimbulkan perpecahan yang lebih dalam di tubuh Nahdlatul Ulama.

















