Ruang kelas di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kabupaten Pati masih menyimpan jejak-jejak aktivitas belajar mengajar. Di antara coretan spidol pada papan tulis, tersirat kisah seorang guru bernama Zamroni (nama samaran) yang harus mengakhiri pengabdiannya lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah hampir separuh hidupnya didedikasikan untuk mengajar di sekolah tersebut, Zamroni terpaksa menghadapi kenyataan pahit: pensiun dini.
“Saya terpaksa pensiun dini,” ujarnya dengan nada getir. Bukan karena lelah mendidik, melainkan karena terbentur aturan birokrasi yang tak bisa dihindari.
Zamroni, seorang guru honorer yang telah mengabdi selama 16 tahun, menceritakan momen saat ia dipanggil oleh kepala sekolah. Pertemuan itu tidak membahas kurikulum atau perkembangan siswa, melainkan penyampaian keputusan berat yang didasari oleh Surat Edaran (SE) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Surat Edaran tersebut, bernomor S/800/1616/2025, berisi tentang Penegasan Status Tenaga Non-ASN Pasca Pelaksanaan Pengadaan Calon Aparatur Sipil Negara Tahun Anggaran 2024 di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. SE ini ditetapkan di Semarang pada 24 November 2025 dan ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Pihak sekolah, terikat oleh aturan, menyampaikan bahwa mereka tidak lagi memiliki wewenang untuk menganggarkan gaji atau memberikan jadwal mengajar kepada Zamroni. Surat edaran tersebut melarang kepala sekolah untuk merekrut tenaga non-ASN, Guru Tidak Tetap, Guru Tamu, atau Guru Bantu. Proses pengadaan pegawai hanya boleh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan melalui mekanisme rekrutmen yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kalimat dalam surat edaran itu menjadi pukulan telak bagi karier Zamroni: “Pegawai Non ASN yang tidak diangkat sebagai PPPK Paruh Waktu dipekerjakan hingga 31 Desember 2025 dan terhitung mulai Januari 2026 tidak diperbolehkan mempekerjakan Pegawai Non ASN atau dengan nama lainnya serta dilarang menganggarkan gaji/upah untuk Pegawai Non ASN atau dengan nama lainnya.”
“Saya masuk poin kedua surat edaran itu. Otomatis karena tidak dianggarkan gaji, tidak dikasih jam mengajar, ya sama artinya disuruh keluar,” ungkap ayah tiga anak ini.
Zamroni, kini berusia 39 tahun, menjadi salah satu “korban” dari penegakan aturan penataan pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Baginya, aturan ini memaksanya untuk “pensiun dini” dengan cara yang menyakitkan.
Kekecewaan Zamroni sangat beralasan. Ia bukanlah orang baru di sekolah tersebut. Ia telah mengabdikan dirinya sebagai guru honorer sejak tahun 2009. Selama 16 tahun, ia telah menyaksikan silih bergantinya siswa, sementara ia tetap setia mendidik. Bahkan, saat ini ia masih memegang tanggung jawab moral sebagai seorang wali kelas.
Namun, belasan tahun pengabdian, data valid di Dapodik, kepemilikan Sertifikat Pendidik (Serdik), hingga prestasi-prestasi tingkat nasional yang pernah ia persembahkan untuk sekolah, seolah tak mampu menyelamatkannya dari aturan tersebut.
“Sebenarnya saya sangat menghormati niat untuk menyelesaikan masalah non-ASN di sekolah negeri. Tapi menyelesaikan tidak perlu diartikan dan diaplikasikan dengan diberhentikan,” ungkapnya dengan nada kecewa.
Zamroni merasa bahwa konsep penataan pegawai ini telah melukai rasa keadilan bagi mereka yang sudah lama mengabdi. Ia mempertanyakan esensi dari penataan yang seharusnya memperbaiki, bukan malah membongkar apa yang sudah tertata.
“Menata itu untuk yang belum tertata, bukan membongkar pasang yang sudah tertata. Seperti inikah arti ‘ngopeni’ dan ‘ngelakoni’? Pengalaman 16 tahun, puluhan prestasi, bahkan ada yang level nasional, data valid di Dapodik, serdik juga valid, semuanya hilang begitu saja,” keluhnya.
Kisah Zamroni ini menjadi potret buram bagi para guru honorer di Jawa Tengah. Di satu sisi, pemerintah berupaya menata sistem kepegawaian. Di sisi lain, pengabdian dan dedikasi para guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi seolah terabaikan.
Kini, nasi telah menjadi bubur. Palu regulasi telah diketuk. Zamroni harus segera bangkit dari kekecewaan dan menatap masa depan. Ia berencana untuk meninggalkan dunia pendidikan formal dan mencari mata pencaharian di bidang lain. Ia menyadari bahwa hidup harus terus berjalan, dan ia harus beradaptasi dengan situasi yang ada.
Ia berencana untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru agar dapat bertahan hidup. Selain itu, ia akan kembali menekuni bidang fotografi yang selama ini juga ia minati. Dunia fotografi memberinya harapan baru, sebuah jalan alternatif untuk tetap berkarya dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
“Mungkin akan fokus ke fotografi yang selama ini saya tekuni juga,” tandasnya, mencoba menyemangati diri sendiri.
Kisah Zamroni ini membuka mata kita terhadap realitas yang dihadapi oleh banyak guru honorer di Indonesia. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang telah berdedikasi untuk mencerdaskan anak bangsa. Namun, seringkali pengabdian mereka tidak dihargai sebagaimana mestinya.
Pemerintah perlu mencari solusi yang lebih bijaksana dan adil dalam menata sistem kepegawaian, sehingga tidak ada lagi guru honorer yang menjadi “korban” dari regulasi yang tidak mempertimbangkan pengabdian dan dedikasi mereka.
Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam penataan sistem kepegawaian guru honorer:
- Penghargaan terhadap Pengabdian: Pemerintah perlu memberikan penghargaan yang layak terhadap pengabdian guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi.
- Transparansi dan Keadilan: Proses pengangkatan guru honorer menjadi ASN atau PPPK harus dilakukan secara transparan dan adil, tanpa diskriminasi.
- Pelatihan dan Pengembangan: Pemerintah perlu memberikan pelatihan dan pengembangan kepada guru honorer agar kualitas mereka semakin meningkat.
- Kesejahteraan: Pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan guru honorer agar mereka dapat hidup layak dan fokus pada tugas-tugas pendidikan.
Dengan memperhatikan poin-poin tersebut, diharapkan penataan sistem kepegawaian guru honorer dapat dilakukan secara lebih humanis dan berkelanjutan, sehingga tidak ada lagi guru yang merasa terzalimi dan dunia pendidikan Indonesia semakin maju.

















