Kementerian Keuangan Tegaskan Tak Ada Praktik Ijon Pajak, Jelaskan Mekanisme Penyesuaian Angsuran PPh Pasal 25
Di tengah berbagai upaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara, Kementerian Keuangan membantah keras adanya praktik “ijon pajak”. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas menyatakan bahwa kementeriannya tidak pernah menggunakan skema semacam itu, bahkan mengaku tidak familiar dengan istilah tersebut.
“Saya enggak pernah bilang ijon, orang saya bukan tukang ijon. Jadi saya enggak ngerti istilah itu,” ujar Purbaya seusai acara konferensi pers APBN KiTA di Jakarta, Kamis (18/12/2025). Pernyataan ini dilontarkan untuk merespons tudingan yang beredar mengenai kemungkinan adanya praktik ijon pajak yang dilakukan oleh kementeriannya.
Meskipun demikian, Purbaya mengakui bahwa Kementerian Keuangan memang tengah melakukan sejumlah penyesuaian strategis untuk memastikan tercapainya target penerimaan pajak pada tahun 2025. Namun, ia tidak merinci lebih lanjut mengenai detail penyesuaian tersebut pada saat itu.
Dinamisasi Pajak: Penyesuaian Angsuran PPh Pasal 25
Penjelasan lebih mendalam mengenai langkah-langkah yang ditempuh kemudian disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto. Ia menjelaskan bahwa strategi yang diterapkan adalah melalui apa yang disebut sebagai “dinamisasi pajak”.
Menurut Bimo, dinamisasi pajak ini dilakukan dengan cara menyesuaikan besaran angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25. Penyesuaian ini bertujuan agar angsuran pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak lebih selaras dengan proyeksi penghasilan yang sebenarnya mereka peroleh pada tahun berjalan.
“Makanya ketika di tahun berjalan itu DJP diberikan kewenangan untuk menyesuaikan besaran angsuran tersebut dalam rangka penyesuaian terhadap adanya penghasilan-penghasilan yang berbeda polanya dengan tahun yang sebelumnya atau penghasilan yang sifatnya tidak teratur,” jelas Bimo.
Mekanisme ini memungkinkan angsuran pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak untuk lebih mencerminkan kondisi usaha dan realitas ekonomi yang dihadapi pada periode berjalan. Hal ini berbeda secara fundamental dengan praktik ijon pajak, yang memiliki konsekuensi dan implikasi yang berbeda.
Memahami Konsep Ijon Pajak
Untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif, penting untuk menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ijon pajak. Merujuk pada informasi yang pernah dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ijon dalam konteks perpajakan diartikan sebagai tindakan meminta wajib pajak untuk menyetorkan kewajiban pajak yang seharusnya jatuh tempo pada tahun berikutnya, namun dibayarkan pada tahun berjalan. Dengan kata lain, pajak dibayar lebih awal sebelum masa terutangnya benar-benar tiba.
Praktik semacam ini dianggap melanggar prinsip dasar kepastian hukum dalam perpajakan, terutama terkait dengan waktu terutangnya suatu kewajiban pajak dan kapan seharusnya kewajiban tersebut disetorkan.
Lebih lanjut, DJP juga menilai bahwa ijon pajak berpotensi menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara pada tahun-tahun berikutnya. Tekanan untuk memenuhi target penerimaan dalam jangka pendek dapat mendorong kantor pajak dan wajib pajak untuk sama-sama mengakselerasi pembayaran kewajiban yang seharusnya menjadi beban di masa depan.
“Ini asas mutualisme yang tidak baik,” tulis DJP dalam salah satu publikasinya, menggambarkan sifat hubungan yang tidak sehat antara kedua belah pihak dalam praktik ijon pajak.
Sejarah Pelarangan Ijon Pajak
Perlu dicatat bahwa praktik ijon pajak bukanlah hal baru dan pernah menjadi perhatian serius di masa lalu. Pada era kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, praktik ijon pajak secara tegas dilarang. Pelarangan ini didasarkan pada pertimbangan yang matang, termasuk aspek keadilan bagi wajib pajak dan potensi dampak negatif jangka panjang yang dapat merugikan Direktorat Jenderal Pajak serta keseluruhan penerimaan negara.
Larangan tersebut menekankan pentingnya menjaga stabilitas penerimaan negara dan memastikan bahwa sistem perpajakan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, penegasan dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunjukkan komitmen kementerian untuk tidak kembali ke praktik yang telah terbukti merugikan.

















