KPK Hentikan Penyidikan Kasus Dugaan Korupsi Mantan Bupati Konawe Utara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menghentikan penyidikan atas kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Aswad Sulaiman. Keputusan ini diambil setelah melalui proses pendalaman dan penyelidikan yang dilakukan oleh lembaga antirasuah tersebut.
Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, membenarkan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk kasus yang melibatkan Aswad Sulaiman. “Benar, KPK telah menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan, red.) dalam perkara tersebut,” ujar Budi Prasetyo kepada awak media di Jakarta pada Jumat, 26 Desember 2025.
Keputusan penghentian ini didasarkan pada hasil pemeriksaan yang tidak menemukan kecukupan bukti. Kasus yang dihentikan tersebut berkaitan dengan dugaan korupsi dalam proses pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi dari Pemerintah Kabupaten Konawe Utara yang berlangsung antara tahun 2007 hingga 2014.
“Setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan, tidak ditemukan kecukupan bukti, sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait,” jelas Budi.
Meskipun demikian, KPK menegaskan bahwa pintu penyidikan kembali terbuka jika ada informasi baru yang relevan. “Jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini maka dapat menyampaikannya kepada KPK,” tambahnya.
Latar Belakang Kasus dan Penetapan Tersangka
Kasus ini bermula ketika KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada tanggal 4 Oktober 2017. Pada saat itu, Aswad Sulaiman menjabat sebagai Penjabat Bupati Konawe Utara periode 2007–2009 dan kemudian sebagai Bupati Konawe Utara periode 2011–2016. Penetapan tersangka ini terkait dengan dugaan korupsi dalam pemberian izin kuasa pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dugaan Kerugian Negara dan Suap
KPK menduga bahwa tindakan yang dilakukan oleh Aswad Sulaiman telah mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar, diperkirakan mencapai sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun. Kerugian ini timbul dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh melalui proses perizinan yang menyalahi aturan hukum.
Selain dugaan kerugian negara, KPK juga menduga adanya penerimaan suap oleh Aswad Sulaiman. Selama periode 2007 hingga 2009, diduga Aswad Sulaiman menerima aliran dana suap hingga Rp 13 miliar dari berbagai perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan.
Pemeriksaan Saksi dan Rencana Penahanan
Dalam rangka pendalaman kasus ini, KPK sempat memanggil dan memeriksa sejumlah saksi. Salah satunya adalah Andi Amran Sulaiman, yang saat itu menjabat sebagai Direktur PT Tiran Indonesia dan kini dikenal sebagai Menteri Pertanian. Pemeriksaan terhadap Andi Amran Sulaiman dilakukan pada 18 November 2021, dengan fokus pada kepemilikan tambang nikel di wilayah Konawe Utara.
KPK juga sempat berencana untuk melakukan penahanan terhadap Aswad Sulaiman. Rencana penahanan tersebut dijadwalkan pada 14 September 2023. Namun, rencana tersebut batal dilaksanakan karena yang bersangkutan dilaporkan sedang dalam kondisi sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Keputusan penghentian penyidikan ini mengakhiri proses hukum yang telah berjalan selama beberapa waktu, namun tetap menyisakan catatan penting mengenai pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan izin pertambangan demi mencegah kerugian negara dan praktik korupsi. KPK sendiri tetap berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap informasi baru yang muncul terkait dugaan tindak pidana korupsi.

















