Tiga Hakim Terbukti Langgar Kode Etik dalam Kasus Korupsi Impor Gula
Komisi Yudisial (KY) telah menyatakan bahwa tiga hakim yang mengadili perkara korupsi terkait impor gula terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Keputusan ini diambil setelah meninjau laporan yang diajukan oleh mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, yang akrab disapa Tom Lembong. Ketiga hakim tersebut sebelumnya menjatuhkan vonis kepada Tom Lembong dengan hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan.
Penegasan pelanggaran etik ini tertuang dalam surat pemberitahuan resmi dari KY kepada pelapor, Tom Lembong, tertanggal 19 Desember 2025. Dokumen keputusan tersebut secara tegas menyebutkan bahwa Terlapor 1, Dennie Arsan Fatrika; Terlapor 2, Purwanto S. Abdullah; dan Terlapor 3, Alfis Setyawan, telah terbukti melanggar aturan etika hakim.
Menindaklanjuti temuan pelanggaran ini, KY tidak hanya menyatakan adanya kesalahan, tetapi juga telah mengajukan rekomendasi kepada Mahkamah Agung. Rekomendasi tersebut berisi usulan agar ketiga hakim tersebut dikenakan sanksi disiplin. Sanksi yang diusulkan adalah hukuman sedang, yaitu larangan menjalankan tugas persidangan atau “non palu” selama periode enam bulan.
Keputusan resmi ini ditetapkan melalui Sidang Pleno Komisi Yudisial yang dilaksanakan di Jakarta pada Senin, 8 Desember 2025. Sidang pleno tersebut dihadiri oleh kelima anggota KY, yang terdiri dari Ketua KY Amzulian Rifai, serta para anggota Siti Nurdjanah, Mukti Fajar Nur Dewata, M. Taufiq, dan Sukma Violetta. Dalam sidang tersebut, Rista Magdalena bertindak sebagai Sekretaris Pengganti.
Proses ini bermula ketika Tom Lembong melaporkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat ke KY. Laporan tersebut dilayangkan atas dugaan pelanggaran etik dalam proses penanganan perkaranya. Tom Lembong menyatakan bahwa pelaporannya ini tidak bertujuan untuk merusak karier individu tertentu, melainkan didorong oleh keinginan untuk melakukan perbaikan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Ia menekankan bahwa motivasi di balik pelaporannya bersifat konstruktif dan tanpa niat untuk mencemari institusi peradilan.
Menanggapi laporan tersebut, KY segera menindaklanjuti dengan memanggil ketiga hakim yang bersangkutan untuk menjalani pemeriksaan etik. Pemeriksaan awal dilakukan pada Selasa, 28 Oktober 2025. Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, mengonfirmasi bahwa proses klarifikasi terhadap pelapor telah selesai dilaksanakan sebelum pemeriksaan terhadap para hakim dimulai.
Dalam proses pemeriksaan etik, Tom Lembong hadir secara langsung di Gedung KY, Jakarta Pusat. Ia didampingi oleh kuasa hukumnya, Zaid Mushafi. Audiensi tertutup yang berlangsung lebih dari dua jam ini menjadi bagian penting dari rangkaian pemeriksaan etik yang dilakukan oleh KY.
Profil Singkat Tiga Hakim yang Terbukti Melanggar Etik
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah profil singkat dari ketiga hakim yang dinyatakan bersalah melanggar kode etik:
1. Dennie Arsan Fatrika
Berdasarkan informasi yang tercatat di situs resmi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Dennie Arsan Fatrika memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Hukum dan Magister Hukum.
- NIP: 197509211999031004
- Jabatan: Hakim Madya Utama
- Pangkat: Pembina Utama Muda (IV/c)
Riwayat karier Dennie Arsan Fatrika dimulai sebagai hakim di PN Lubuk Basung, Sumatera Barat, pada tahun 2008. Ia kemudian menduduki jabatan Wakil Ketua PN Baturaja pada tahun 2017, dan setahun berikutnya dipercaya untuk memimpin sebagai Ketua PN Baturaja. Pada Oktober 2021, Dennie dilantik sebagai Ketua PN Karawang. Sebelumnya, ia juga pernah bertugas sebagai Wakil Ketua PN Bogor, sebuah institusi yang dikenal telah meraih predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
2. Alfis Setyawan
Alfis Setyawan menjabat sebagai hakim ad-hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di PN Jakarta Pusat. Sebelum ditugaskan di ibu kota, Alfis pernah mengemban tugas sebagai hakim ad-hoc Tipikor di PN Semarang pada tahun 2020. Ia mulai menangani perkara yang melibatkan Tom Lembong sejak tanggal 14 April 2025. Penugasan ini dilakukan setelah hakim sebelumnya, Ali Muhtarom, terjerat kasus suap. Berdasarkan data e-LHKPN, Alfis terakhir kali melaporkan harta kekayaannya pada Januari 2025 dengan total aset yang tercatat sebesar Rp846.048.463.
3. Purwanto S. Abdullah
Purwanto S. Abdullah tercatat sebagai Hakim Madya Muda di PN Jakarta Pusat. Riwayat penugasannya mencakup berbagai pengadilan di daerah, termasuk PN Poso, PN Palopo, dan PN Sungguminasa. Ia kemudian dilantik sebagai Ketua PN Belopa pada tahun 2021. Sebelum akhirnya bertugas di PN Jakarta Pusat, Purwanto terakhir menjabat sebagai hakim di PN Makassar. Setelah proses alih tugas pada November 2023, Purwanto secara resmi mulai menjalankan tugasnya di PN Jakarta Pusat. Dalam laporan LHKPN terakhirnya, Purwanto tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp4.271.800.000 per periode 2024.

















